Setiap 19 November dunia memperingati Hari Toilet sedunia.
Peringatan yang diprakarsai oleh World Toilet Organization (WTO) yang berbasis di Singapura bertujuan untuk mengampanyekan pentingnya sanitasi dan diangkat menjadi isu global.
Sebegitu pentingkah peringatan ini? Berdasarkan release yang dikeluarkan oleh WTO, setiap tahun ada 200 juta ton kotoran manusia tak terbuang pada tempat yang sesuai karena kurangnya toilet. Dampaknya adalah lingkungan tercemar dan jutaan orang terancam penyakit.
"19 November merupakan merupakan Hari Toilet se-Dunia. Hari di mana kita bisa mengingatkan akan pentingnya sanitasi yang lebih baik pada setiap orang," demikian bunyi pernyataan WTO bertepatan dengan peringatan tersebut.
Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), saat ini sebanyak 2,6 miliar orang tidak memiliki akses untuk mendapatkan toilet yang layak—tidak mencemari air atau tanah. Angka ini mencakup 40 persen populasi dunia. Setengah dari jumlah tersebut hidup di India dan China.
Tak heran, bila para pakar sanitasi yang berkumpul di New Delhi, India pada awal November lalu menyimpulkan dunia membutuhkan 100 ribu toilet baru setiap hari hingga 2015 mendatang guna mengurangi jumlah orang yang tidak memiliki sanitasi dasar. Adapun biayanya, menurut pakar sanitasi Swedia, mencapai US$ 3,8 miliar per tahun.
Kondisi Indonesia tak terlalu berbeda. Sebanyak 30 persen penduduk Indonesia saat ini masih melakukan kegiatan buang air besar sembarangan (BABS), baik langsung maupun tidak langsung. Sebanyak 18,1 persen di antaranya ada di wilayah perkotaan.
Data pemerintah tahun 2007 menyebutkan, penduduk yang memiliki akses terhadap prasarana sarana sanitasi setempat (on-site) yang aman dengan menggunakan tangki septik baru sekitar 71,06 persen untuk di perkotaan, sedangkan di perdesaan baru sekitar 32,47 persen. Anggaran dituding sebagai penyebabnya. Alokasi APBN/APBD sangat kecil yakni rata-rata kurang dari satu persen. Idealnya, anggaran di sektor sanitasi minimal Rp 47 ribu per kapita per tahun. Kenyataannya selama kurun waktu 30 tahun yakni sejak tahun 1974-2004 hanya berjumlah Rp 200 per kapita per tahun.
Dampak BABS ini sudah dapat diduga. Sebanyak 53 sungai di Jawa, Sumatra, Bali dan Sulawesi, 73,3 persen tercemar berat oleh bahan organik dan 11 sungai utama tercemar berat oleh zat amonium. Selain itu, terjadi berbagai dampak lainnya, seperti, genangan di pemukiman dan wilayah strategis di perkotaan menjadi semakin sering terjadi.
Kondisi tersebut diperburuk dengan pola hujan yang tidak teratur sehingga terjadi berbagai kasus kejadian luar biasa (KLB) di beberapa daerah seperti KLB diare, muntaber dan lainnya. Lingkungan juga terdegradasi. Berdasarkan studi tahun 2007, potensi kerugian ekonomi akibat sanitasi buruk ini mencapai Rp 58 triliun per tahun.
Kondisi buruk ini tidak lepas dari kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pola hidup sehat. Kebijakan pemerintah—termasuk legislative—yang tidak menganggap pembangunan sektor ini sebagai prioritas kian memperburuk kondisi tersebut.
Tak dimungkiri, banyak pihak kurang menyadari betapa sanitasi mempunyai andil dalam pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing kota. Selama ini sanitasi dianggap hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar semata. Banyak kota tak memiliki rencana strategis dan master plan sanitasi. Padahal potensi keuntungan bila sanitasi teratasi, luar biasa.
Kondisi itu mulai disadari oleh pemerintah, meski tetap masih belum menjadi prioritas pembangunan ke depan. Paling tidak pemerintah kini memiliki terobosan dalam pembangunan sanitasi dengan program percepatan pembangunan sanitasi perkotaan (PPSP) tahun 2010-2014. Kegiatan tersebut dimulai dengan memunculkan prinsip bahwa sanitasi urusan bersama yang di dalamnya terdiri dari pemerintah baik pusat, provinsi, kota/kabupaten, swasta lembaga donor serta masyarakat umum.
sumber : http://www.sanitasi.or.id